Muhammad Raihan Febriansyah, S.I.Kom, M.Si

Muhammad Raihan FebriansyahBlog

4 5863 0

Benahi Mental Generasi Muda Dengan Literasi Media

Muhammad Raihan Febriansyah Apr 09, 2021 08:53 359
Benahi Mental Generasi Muda Dengan Literasi Media

Sudah banyak kasus terjadi pada anak yang diakibatkan oleh duplikasi terhadap yang mereka saksikan di layar Televisi (TV). Seperti kejadian kematian Heri Setyawan, seorang anak 12 tahun di Jakarta medio akhir 2009 sebagai akibat kegemaran bocah tersebut meniru aksi sulap Limbad yang cenderung berbahaya. Kasus lain terjadi di sebuah Sekolah Dasar di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Oktober 2014. Sekelompok siswa SD menganiaya temannya akibat sering terpapar adegan kekerasan di TV. Kasus lain, terjadi pada April 2015, wafatnya seorang anak kelas 1 SD di Pekanbaru setelah dikeroyok rekan-rekannya dengan alasan bermain-main meniru adegan Sinetron 7 Manusia Harimau.

Tentu masih banyak kejadian lain yang dapat dijadikan pelajaran. Misalnya saja, terjadinya perubahan kegemaran pada anak. Contoh kecil, jika dahulu lagu Balonku Ada Lima, Naik Kereta Api, atau yang lebih pop ada Nyamuk-Nyamuk Nakal (Enno Lerian) atau Air (Joshua). Maka, anak-anak era kini lebih fasih melantunkan Mencintaimu Sampai Mati (Utopia) atau Sakitnya Tuh Disini (Cita Citata) yang popular berkat sinetron yang tayang di TV.

Fenomena lain yang sangat mengkhawatirkan demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara adalah mulai tergesernya budaya ketimuran dan khasanah kebudayaan Indonesia. Contoh menarik adalah hasil survey Lembaga Riset Kebudayaan dan Arus Komunikasi (Literasi) di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 18-25 Maret 2015 di 24 sekolah SD dan SMP Kota Mataram, saat ditanya tentang pahlawan nasional, ada fakta mengejutkan. 84% anak usia SD dan SMP yang merasa mengenal pahlawan nasional, menjawab Batman dan Prilly Latuconsina (aktris sinetron Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV) sebagai sosok pahlawan nasional. Tidakkah hal ini mengkhawatirkan?

Usia anak adalah usia yang seharusnya menyenangkan. Anak mengeksplor banyak hal, mencari tahu segala sesuatu, dan tak ragu mempraktekkan apa yang mereka pelajari. Jean Piaget, seorang pakar psikologi Swiss, dalam Life Span Development menyatakan anak dapat membangun secara aktif dunia kognitifnya sendiri. Menurutnya, anak usia 2-7 tahun akan melewati fase pre-operational stage, dimana apa yang mereka dapat melalui panca indera, akan dicerna menjadi persepsi. Jika yang dilihatnya, dianggap bagus, maka mereka akan menirunya.

Sayangnya, salah satu yang menjadi role model anak di usia pertumbuhannya adalah TV. Kesibukan orang tua dan kehadiran TV di setiap rumah tangga menjadi sarana anak untuk belajar tentang kehidupan.

 

Literasi Media Berbasis Keluarga

Jawaban dari masalah bahaya TV bagi perkembangan anak adalah pendidikan literasi media. Literasi media adalah kemampuan konsumen media untuk memahami, menganalisis, memberi makna, mengkritisi isi media, hingga mendekonstruksi realitas yang ada di media. Konsumen media, dalam hal ini penikmat TV, diharapkan dapat melek media, mampu memilih dan memilah mana tayangan yang baik dan bermanfaat, sementara tayangan yang tidak berkualitas ditinggalkan.

Dalam dunia pendidikan, sering disebut teori AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku). Ketika proses belajar, peserta didik harus selalu bertanya pada dirinya sendiri, apa manfaat yang ia dapatkan jika belajar suatu hal. Begitu juga seharusnya yang berlaku saat mengkonsumsi media. Tanyakan dulu pada pribadi sendiri, adakah manfaatnya menonton tayangan A atau tayangan B. Jika tidak ada manfaatnya, malah cenderung banyak madharatnya, untuk apa ditonton.

Sejatinya, tidak hanya TV, namun semua konsumsi media oleh anak harus diawasi dan mendapatkan bimbingan dari orang tua. Hanya saja, karena TV masih merupakan medium yang paling mudah diakses, hampir seluruh rumah tangga memiliki TV, dan dengan berbagai teorinya, TV menjadi medium paling ampuh untuk menanamkan sebuah ajaran. Maka, konsumsi TV harus mendapatkan perhatian lebih.

Keluarga, khususnya orang tua harus sadar benar, bahwa pengawasan dan bimbingan mereka terhadap anak ketika menyaksikan tayangan TV, menjadi kunci perkembangan si anak. Orang tua harus lebih berhati-hati pada tayangan TV. Karena walaupun film kartun sekalipun, belum tentu 100% aman bagi anak. Tayangan kartun seringkali diselipi oleh adegan kekerasan, caci mencaci, atau bahkan adegan yang tak selayaknya disaksikan anak-anak.

KPI sebenarnya sudah membuat regulasi tentang penggolongan program siaran yang terbagi dalam tayangan untuk Anak (A) untuk usia di bawah 12 tahun, Remaja (R), Dewasa (D), dan Semua Umur (SU). Para orang tua harus memahaminya. Bahwa jika berlabel R atau D, maka anak-anak di bawah usia 12 tahun tidak diperkenankan menyaksikan. Orang tua juga harus tegas memberi batasan waktu menonton TV bagi anak-anak. Sehingga anak-anak tidak menjadikan TV sebagai guru dan panutan utamanya.

Kita patut mencerna dengan baik pepatah Indonesia yang sangat familiar, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Selain itu, Sir Alex Ferguson, legenda hidup dunia sepakbola, pernah berkata “You are what your parents are". Cukup untuk menggambarkan, bahwa peran orang tua sangat vital bagi perkembangan kepribadian anak-anak. Ini menjadi tugas berat para orang tua. Mari benahi mental generasi penerus bangsa melalui kecakapan literasi media.