Oleh: Faiz Rafdhi
JUDUL KULTUM ini terinspirasi dari poin ketiga dari Sifat Muhammadiyah sebagaimana termaktub dalam Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan Kepribadian Muhammadiyah (KM) diputuskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 (Muktamar Setengah Abad) di Jakarta pada tahun 1962. Salah satu anggota tim perumus KM adalah Kyai Djindar Tamimy, salah seorang Ideolog yang dimiliki Muhammadiyah, bahkan merupakan "kamus berjalan" ideologi Muhammadiyah.
Ada 10 sifat Muhammadiyah yang termaktub di KM yang harus dihapal, dipahami dan diamalkan serta menjadi pegangan bagi para anggotanya sebagaimana dulu diajarkan Kyai Djindar di Madrasah Muallimin Yogyakarta. Ketika dirasa muridnya telah mendapatkan "ilmu" kemuhammadiyahan yang cukup, baik hapalan dan pemahaman, sebelum ujian lisan kemuhammadiyahan santri Muallimin diminta Kyai Djindar untuk membuat Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah (KTAM). KTAM tersebut menjadi tanda resmi bagi kader untuk mengamalkan ajaran Islam sebagaimana paham Muhammadiyah. Dan kesepuluh sifat tersebut, tentunya menjadi pegangan bagi anggota Muhammadiyah dalam bermuhammadiyah.Mengamalkan judul kultum ini, Kyai Djindar memberi contoh pada saat Majalah Tempo (waktu itu) mengangkat polemik perihal "Muhammadiyah Bermazhab" sebagaimana dikemukakan ust. Muh. Suprapto Ibnu Juraimi, - ustadz juga murid dari Kyai Djindar di Muallimin -, padahal ideologi Muhammadiyah jelas menerangkan bahwa Muhammadiyah "tidak bermazhab".Menyikapi komentar "kontroversi" muridnya tersebut, Kyai Djindar tidak pernah menyampaikan pandangan Ust. Ibnu Juraimi tersebut sebagai "sesat" dan tidak sejalan dengan pandangan Muhammadiyah, beliau justru meminta santrinya untuk meminta penjelasan langsung dari Ust. Ibnu Juraimi (sumber asli) apa makna "Muhammadiyah Bermazhab", beliau tidak ingin santri mendapatkan dari sumber lain yang sudah mendapatkan "bumbu-bumbu".Ada 3 pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa tersebut. Pertama, Kyai Djindar sedang mengajarkan kepada santri bahwa kader Muhammadiyah hendaknya LAPANG DADA terhadap berbagai pandangan meskipun terkesan pandangan tersebut "nyeleneh". Kedua, Kyai Djindar juga mengajari santri agar LUAS PANDANGAN, artinya kader harus banyak belajar dan mencari ilmu jika perlu langsung dari sumbernya. Kyai Djindar mengajak santrinya, jika ada yang berbeda pandangan dengan ust. Ibnu Juraimi, hendaknya kemukakan argumentasinya melalui media yang sama (Majalah Tempo). Tidak perlu marah-marah apalagi menganggap Ust Ibnu Juraimi telah keluar dari Muhammadiyah. Meskipun dianjurkan LUAS PANDANGAN, Kyai Djindar mengajari santri untuk tetap kritis. Inilah pelajaran yang ketiga.Dalam salah satu kesempatan diskusi singkat namun "padat" dengan Buya Syafi'i Ma'arif, Buya mengatakan agar kita hendaknya membuka cakrawala ilmu seluas-luasnya dari manapun. Mengomentari perihal Syi'ah, Buya berpandangan, banyak pemikiran-pemikiran Syiah yang baik dan bisa menjadi rujukan, namun kita tetap harus kritis, tanpa perlu menjadi orang Syi'i atau membenci dan menjelek-jelekkannya. Jadilah Islam yang rahmatan lil-'alamien. Pandangan Buya tersebut senada dengan cara pandang Kyai Djindar,"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS. Al-Anbiya/ 21: 107)Makna rahmat bagi alam semesta mengacu kepada sikap kasih sayang baik terhadap sesama manusia maupun lingkungannya. Sikap rahmat dapat ditunjukkan melalui lisan yaitu dengan perkataan yang baik dan tidak menyakitkan kepada sesama manusia, baik yang muslim maupun non muslim serta melalui perbuatan dengan menjaga lingkungan dari sikap pengrusakan dan penghancuranPandangan kedua tokoh (Kyai Djindar dan Buya Syafi'i) tersebut dapat mewakili pandangan, sikap atau sifat Muhammadiyah sebagaimana judul kultum ini. Pandangan ini sudah menjadi "trade mark" atau "brand" perjuangan kader dan anggota Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Hal ini juga dicontohkan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Misalnya, Kyai Dahlan prihatin terhadap penjajahan bangsa Barat atas umat Islam, namun Kyai Dahlan tidak menutup diri untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki sikap arif dan jernih dalam melihat dan memilah persoalan. Barat harus dimusuhi sebagai penjajah, namun harus dikawani sebagai peradaban. Agama Kristen yang dibawa para misionaris Barat harus dimusuhi sejauh ketika agama tersebut dipakai sebagai kedok imperialisme. Namun sebagai sebuah agama, Kyai Dahlan sangat menghormati para pemeluk agama Kristen.Pendiri Muhammadiyah tersebut juga menganjurkan atau mendorong umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya, sehingga Kyai Dahlan pun misalnya beranggapan bahwa diskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid.Kalau Kyai Dahlan saja menganjurkan atau mendorong umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional, mengapa kita khawatir, ketakutan, curiga, skeptis, dan emosional mengkaji mazhab-mazhab lain, baik mazhab-mazhab yang ada di Sunnah maupun Syiah, yang seagama dengan kita?Sikap Kyai Dahlan di atas, dilanjutkan oleh KH. Mas Mansur mantan Ketua PP. Muhammadiyah, penulis 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah. Di dalam 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah, pada Langkah Kedua disebutkan "Memperluas Paham Agama: Hendaklah Islam agama yang sesungguhya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-kutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, benar, ringan dan berguna, maka mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu". (Masih menggunakan bahasa aslinya-penulis).KH. Mas Mansur juga menjelaskan bahwa 1) Hukum-hukum Islam itu dapat berubah-ubah dengan mengingat keadaan orang, 2) Agama Islam tiada mengikat paham. Maka, hendaklah sama diingat, bahwa yang harus kita perluaskan itu "paham-paham agama", bukan agama, karena agama itu sudah sempurna, tiada boleh diperluas dan tiada boleh dipersempitkan.Sejalan dengan judul tulisan ini, pada Muktamar 1 Abad (Muktamar ke-46) di Yogyakarta tahun 2010 telah diputuskan tentang Revitalisasi Kader dan Anggota Muhammadiyah. Disebutkan bahwa salah satu kompetensi kader Muhammadiyah adalah Kompetensi akademis & intelektual yang dicirikan dengan nilai-nilai 1) fathonah (kecerdasan pikiran sebagai Ulul Albab) dalam berpikir, berwawasan, dan menghasilkan karya pemikiran; 2) Tajdid (pembaruan dan berpikiran maju) dalam mengembangkan kehidupan dan menggerakkan Persyarikatan sesuai jiwa ajaran Islam; 3) Istiqamah (konsisten) dalam lisan, pikiran, dan tindakan. 4) Etos belajar (semangat dan kemauan keras) untuk selalu mengembangkan diri, mencari dan memperkaya ilmu, serta mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan. 5) Moderat (arif dan mengambil posisi di tengah) dalam bersikap, berpikiran, dan bertindak.Jadi, sesungguhnya "Lapang Dada, Luas Pandangan dengan Berpegang Teguh pada Ajaran Islam" sudah menjadi "basic principle" atau "basic character" perjuangan kader dan anggota Muhammadiyah sejak awal berdirinya.Dinukil dari buku: Siapakah Kader Muhammadiyah Itu?, Materi Kultum Peneguh Jatidiri Kader. MPK PP Muhammadiyah. (2017)Penulis adalah Wakil Ketua MPK PP Muhammadiyah