Perayaan Idulfitri 1444 H kemungkinan terjadi lagi perbedaan antara Muhammadiyah yang telah menetapkan lebih dulu 1 Syawal 1444 H bertepatan pada hari Jumat, 21 April 2023 M melalui Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0E/2023. Sedangkan pemerintah dan beberapa ormas Islam kemungkinan akan memutuskan Idulfitri jatuh pada Sabtu, 22 April 2023 M.
Perbedaan terjadi disebabkan metode yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Berdasarkan kriteria wujudul hilal, telah terjadi konungsi/ ijtimak, bulan lebih lambat terbenam daripada matahari dan saat Maghrib posisi bulan telah berada di atas ufuq (ketinggian hilal di atas 0 derajat).
Sedangkan pemerintah dan beberapa ormas Islam menggunakan metode Imkanu Rukyat (IR)/ Visibilitas Hilal dengan kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) yaitu tinggi hilal minimal 3 derajat dan jarak sudut bulan-matahari (elongasi) minimal 6,4 derajat.
Dengan kriteria tersebut, meskipun pemerintah dan beberapa ormas Islam melakukan hisab dengan hasil yang sama dengan hisab Muhammadiyah, keputusan kapan bulan baru tetap berbeda. Sekiranya pada sidang itsbat nanti ada saksi yang menyatakan melihat hilal, namun kesaksian tersebut "tertolak", disebabkan hilal belum pada posisi "dimungkinkan untuk dilihat".
Muhammadiyah memilih "berbeda" dapat dipastikan bukan
karena Menteri Agamanya dari NU. Pada akhir Orde Baru, Muhammadiyah juga
mengambil jalan "berbeda" meskipun Menteri Agamanya, Tarmizi Taher berasal dari
Muhammadiyah. Seperti kata Haedar Nashir, Muhammadiyah memilih metode hisab
karena sejalan dengan spirit al-Quran dan Sunnah, dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan demi kepraktisan.
Dalam posisi seperti ini, apakah Muhammadiyah sendirian dalam menetapkan 1 Syawal 1444 H? Gulf News pada Kamis (6/4/2023) sebagaimana dilansir dari Kompas.com memberitakan bahwa Pusat Astronomi Internasional telah mengumumkan jadwal perayaan Idulfitri 2023 di negara-negara mayoritas Islam. Sebagian besar negara Islam termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) memperkirakan 1 Syawal atau hari raya Idulfitri akan jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
Tak berbeda dengan Arab Saudi, Idulfitri 2023 di Mesir akan jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Hal tersebut berdasarkan pernyataan Kepala National Research Institute of Astronomy and Geophysics (NRIAG), Gad al-Qady, seperti dikutip Egypt Independent. Pusat Astronomi Internasional turut mengatakan, bulan sabit tipis atau hilal kemungkinan tidak akan dilihat dengan mata telanjang atau teleskop dari sebagian Asia dan Australia.
Fiqh penentuan awal bulan hijriyah khususnya pada Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah ada pada wilayah ijtihadiyah. Tiap pandangan punya argumen sendiri yang bisa diperdebatkan dengan dalil masing-masing dan sudah banyak dikemukakan. Namun yang terpenting adalah bagaimana menyikapi perbedaan.
Menyikapi perbedaan fiqh penentuan awal bulan hijriyah, kita dapat belajar kearifan dari Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VII, pemegang kekuasaan tertinggi Kesultanan Islam Mataram sebelum Indonesia merdeka. Junus Salam pernah mengungkap peristiwa penting yang berkaitan dengan proses interaksi antara Kiai Dahlan, pendiri Muhammadiyah dengan kekuasaan Kraton Yogyakarta dalam rangka mengenalkan paradigma baru praktik keagamaan pada waktu itu. Sebagai seorang abdi dalem, Kiai Dahlan tentu tidak memiliki otoritas untuk mengubah tradisi keagamaan yang sudah melekat dalam kultur Kraton Yogyakarta. Tetapi pada akhirnya, gagasan Kiai Dahlan dapat ditolerir oleh Sultan, sekalipun tidak mampu mempengaruhi tradisi di kalangan internal Kraton Yogyakarta.
Peristiwa ini terjadi ketika jabatan Hoofdpenghulu (Menteri Agama, pen) Kraton Yogyakarta dipegang oleh KH. Muhammad Kamaludiningrat (KH. Sangidu), pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono (HB) VII. Dari penguasaannya terhadap metode hisab dan falak, Kiai Dahlan mendapati perhitungan tanggal Hijriyah hari-hari besar Islam yang rutin digelar Kesultanan seperti Grebeg Maulid, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar Iduladha berbeda dengan perhitungan kalender Aboge (Alif-Rebo-Wage), yaitu sebuah perhitungan Jawa yang telah digunakan oleh para wali dan disebarluaskan oleh Raden Rasyid Sayid Kuning.
"Hari raya Idulfitri jatuh esok hari, sedangkan Aboge besok lusa". Karenanya, Kiai Dahlan pun menghadap ke Sultan Hamengkubuwono VII untuk memaparkan temuannya sekaligus meminta izin agar Muhammadiyah dibolehkan berbeda dalam penentuan tanggal perayaan hari-hari besar Islam.
KH. Ahmad Dahlan diterima pihak Kraton lewat perantara Hoofdpenghulu. Dengan penuh hormat mengikuti prosedur kraton, Kiai Dahlan menyampaikan pandangannya tentang perhitungan hilal Syawwal yang menurut metode ilmu hisab berbeda dengan perhitungan kalender Aboge.
Ada yang aneh dengan suasana tempat di mana Kiai Dahlan diterima oleh Sultan HB VII. Ruangan tampak gelap gulita. Tetapi suara sang Sultan terdengar jelas sekali. Sehingga Kiai Dahlan pun tidak kikuk, tidak grogi, karena ia menyampaikan pandangannya dalam kondisi ruangan gelap gulita. Selesai Kiai Dahlan berargumentasi, lampu ruangan dinyalakan sehingga terang benderang. Betapa terkejut Kiai Dahlan karena di ruangan tersebut Sultan HB VII beserta seluruh jajarannya tampak lengkap menyaksikan dengan seksama kehadiran tokoh Muhammadiyah ini.
Muhammadiyah diizinkan menyelenggarakan Shalat Idulfitri lebih dulu, termasuk menggunakan fasilitas Masjid Agung Yogyakarta untuk menggelar Shalat Id. Sementara pihak Keraton tetap berpegang pada kalender Aboge yang berbeda dalam penentuan awal Syawal. Suatu kearifan di luar dugaan Kiai Dahlan karena pada waktu itu Sultan HB VII memutuskan: "Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge". Inilah bentuk dukungan Sri Sultan HB VII pada Metode Hisab.
Dari peristiwa ini dapatlah kiranya diambil beberapa kearifan Sri Sultan HB VII. Pertama, Sri Sultan HB VII mengakomodasi tajdid atau perkembangan pemikiran keagamaan meskipun tidak meninggalkan tradisi keagamaan kraton, tanpa "menghakimi" pandangan tersebut sebagai pandangan sesat, anti KY (Kesultanan Yogyakarta), anti ukuhwah dan stigma negatif lainnya.
Kedua, Sri Sultan HB VII memfasilitasi perbedaan dengan mengizinkan penggunaan Masjid Agung Yogyakarta untuk menggelar Shalat Id. Bandingkan dengan penolakan izin di beberapa daerah belakangan ini seperti Pekalongan dan Sukabumi, belum termasuk pencabutan spanduk pengumuman pelakanaan shalat Id yang diselenggarakan beberapa PCM. Sekiranya ada yang mengemukakan kaidah fiqh "hukmu al-hakim yarfa'u al-khilaf", bahwa semua harus tunduk pada keputusan pemerintah, tentu harus kita hargai. Begitupun yang berpandangan demikian juga menghargai yang tidak setuju. Apa yang dicontohkan Sri Sultan HB VII, justru berbalik dengan kaidah fiqh tersebut. Semuanya masalah fiqh ijtihadiyah.
Ketiga, Sri Sultan HB VII tidak mengintimidasi pandangan yang berbeda dengan tradisi keagamaan di pemerintahannya. Dengan arif, Sri Sultan mematikan lampu agar Kiai Dahlan dengan leluasa menyampaikan pemikirannya tanpa merasa terintimidasi. Dapat dibayangkan suasana psikologis Kiai Dahlan sekiranya menyampaikan hasil hisabnya di hadapan Sri Sultan dan para pejabat kesultanan, apalagi ia hanya seorang abdi dalem.
Keempat, KH. Ahmad Dahlan secara istiqamah dan arif berani menyampaikan pandangannya, apa yang diyakininya meskipun berbeda dengan kalangan mayoritas. Namun demikian, ia juga menghormati keputusan pemerintah, tanpa secara demonstratif menghakimi pemerintah dan kalangan mayoritas sebagai kaum yang anti ilmu pengetahuan dan anti kemajuan.
Toleransi dan moderasi bagi Sri Sultan HB VII dan Kiai Dahlan merupakan contoh dalam aksi bukan kata. Sekiranya masih ada warga di republik ini, tidak mengizinkan warga Muhammadiyah atau kaum muslimin pelaksanaan shalat Id, masih mengintimidasi, menganggap yang berbeda sebagai intoleransi, kata Syafiq Mughni pada status Facebooknya "Ngomong toleransi, pluralisme dan moderasi sampai berbusa-busa. Ternyata "njekethek"."
Wallahu a'lam bi al-shawab. Selamat Idul Fitri 1444 H, Mohon Maaf Lahin Batin
Faiz Rafdhi
Rektor Universitas Saintek Muhammadiyah